Al-Habib
Ahmad bin Abdurrahman Assegaf adalah salah satu ulama dengan kapasitas
ilmu pengetahuan dhohir dan bathin yang diakui oleh ulama-ulama
sezamanya. Al Arif Billah Habib Abdullah bin Idrus Al Aydrus menyebut
beliau sebagai kholifah di masanya.
Pada satu kesempatan di
masjid Thoha, Hadramaut, pada tanggal 20 Syawal 1353 Hijriyah, beliau
memberikan ceramah ilmiah bertemakan shalat.
Beliau berkata,
shalat merupakan sarana paling utama bagi manusia untuk dapat selalu
berinteraksi dengan Penciptanya. Dahulu Nabi Zakariya a.s. menjadikan
shalat sebagai fasilitas ketika beliau meminta kepada Allah untuk
diberikan keturunan.
Doa beliau dikabulkan dan mendapatkan seorang
putra yaitu Nabi Yahya yang merupakan anugerah terbesar dalam hidupnya.
Rasul SAW bersabda, ‘Hal yang paling membuatku senang adalah shalat’.
Dengan shalat beliau merasakan suatu kenikmatan yang tiada banding,
berdialog dengan Allah SWT.
Dalam kitab Nashoih Dinniyah Habib
Abdullah Alhaddad mengibaratkan shalat sebagaimana kepala pada manusia.
Manusia mustahil dapat hidup tanpa kepala. Demikian halnya semua
perbuatan baik manusia akan sia-sia jika tanpa disertai shalat. Shalat
merupakan parameter diterima atau tidaknya amal perbuatan manusia. Rasul
SAW bersabda, ‘Pertama yang diperhitungkan pada hari kiamat adalah
shalat. Jika shalatnya diterima, maka seluruh amal sholehnya diterima,
namun jika shalatnya ditolak, maka seluruh amal solehnya ditolak pula.’
Habib Ahmad kemudian bercerita, “Al-walid Sayid Alwi bin Abdurrahman
Assegaf berkata, ‘Sesungguhnya pamanku Abdurrahman bin Ali berkata, jika
kamu mempunyai hajat baik urusan dunia ataupun akhirat, maka memintalah
pertolongan kepada Allah SWT dengan melaksanakan shalat. Bacalah akhir
surat Thoha seusai shalat, Insya Allah dengan segala kebesaran-Nya akan
dikabulkan hajat dan keinginanmu.’
Namun shalat kita pada masa
sekarang ini tidaklah seperti shalat para salaf terdahulu yang penuh
khusyu’ dan khidmat. Shalat kita merupakan shalat yang selalu dipenuhi
kelalaian dan kealpaan, sehingga sangatlah kecil prosentase diterimanya.
Orang-orang sufi terdahulu yang tidak diragukan lagi kedalaman ilmu
pengetahuannya, menambahkan tiga rukun pada rukun-rukun shalat yang
dikemukakan para ulama fiqih yaitu, khusuk atau tadabbur (hadirnya
hati), khudu’(merendahkan diri kepada Allah) dan ikhlas. Firman Allah
SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.”
Penafsiran mereka dalam ayat ini adalah, ‘Janganlah kalian mendekati
(mengerjakan) shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk oleh
kesenangan dunia hingga pikiran kalian kosong dari dari segala urusan
dunia.’
Sekarang kita saksikan orang-orang melaksanakan shalat
namun hati mereka masih selalu tertuju pada urusan dunia, baik urusan
jual beli maupun pekerjaan mereka. Akibatnya mereka lupa berapa rokaat
yang telah mereka kerjakan, tidak mengetahui surat apa yang telah
dibacakan imam. Mereka sama sekali tidak menghayati bacaan Alfatihah dan
ayat-ayat yang lain dalam shalat, mereka tidak menyadari bahwa mereka
berdiri di depan Maha Penguasa dan sedang berdialog dengan Maha
Pencipta. Urusan-urusan duniawi benar-benar telah menguasai hati
manusia.
Orang yang memikirkan urusan dunia dalam shalat sama
halnya dengan orang yang melumuri Al-Qur’an yang suci dengan khomer.
Shalat yang seharusnya menjadi wadah yang suci telah mereka penuhi
dengan kotoran-kotoran yang menjijikkan. Tanpa ada niat ikhlas yang
merupakan ruh dari shalat, orang yang demikian diibaratkan oleh Imam
Ghozali seperti seseorang yang menghadiahkan seonggok bangkai dengan
kemasan rapi kepada seorang raja. Tentunya perbuatan tersebut bukannya
menyenangkan hati raja melainkan membuat dia marah dan murka karena
dianggap telah melecehkan kehormatan dan kebesarannya.
Para
salaf terdahulu memandang shalat sebagai hal yang sangat sakral dan
agung. Mereka selalu berusaha melaksanakan dengan sesempurna mungkin.
Hingga diantara mereka acapkali dihinggapi burung saat shalat karena
sangat khusyuk dan tenangnya. Ada pula yang sampai tidak merasakan
dahsyatnya gempa bumi yang meluluh lantakkan bangunan-bangunan di
sekitarnya. Bahkan Imam Ali bin Husein sama sekali tak merasakan
panasnya kobaran api yang membumi hanguskan rumah beliau saat beliau
tenggelam dalam shalatnya. Saat ditanya beliau hanya berujar, ‘Panasnya
api yang lain (api neraka) telah membuatku tak merasakan panasnya api
dunia.’
Habib Ahmad kemudian memberikan tausiyah, ‘Rasul SAW
bersabda, ‘Ada seorang lelaki di antara kamu, rambut di kedua pipinya
telah memutih namun tidak diterima satu pun shalatnya.’ Ini menunjukkan
bahwa tak ada satu shalat pun yang dia kerjakan dengan khusyuk. Padahal,
mulai usia 15 tahun hingga enam puluh tahun sudah berapa kali dia
mengerjakan shalat. Jika tidak ada satu shalat pun yang dia kerjakan
dengan khusyuk, itu berarti hatinya benar-benar dikuasai urusan
keduniaan.
Ini adalah masalah kompleks di tengah masyarakat
Islam yang harus disikapi dengan serius, terutama bagi para ulama dan
penuntut ilmu. Adapun orang awam pada zaman sekarang sudah merasa cukup
dengan shalat serba praktis seperti yang biasa mereka kerjakan. Bahkan
di antara mereka ada yang mengeluh jika mendapati seorang imam shalat
terlalu lama. Mereka lebih memilih imam yang lebih cepat dan ringkas
sembari mengesampingkan unsur kekhusyukan yang sebenarnya esensial dalam
shalat.
Posted in:
0 komentar:
Posting Komentar