fairuz-azzanky.blogspot.com
Ia datang ke Makkah sambil terhuyung-huyung,
namun sinar matanya bersinar bahagia. Memang, sulitnya perjalanan dan
teriknya matahari yang menyengat tubuhnya cukup menyakitkan. Namun
tujuan yang hendak dicapainya telah meringankan penderitaan dan
meniupkan semangat kegembiraan.
Ia memasuki kota dengan menyamar
seolah-olah hendak melakukan thawaf mengelilingi berhala-berhala di
sekitar Ka'bah, atau seolah-olah musafir yang sesat dalam perjalanan,
yang memerlukan istirahat dan menambah perbekalan.
Padahal
seandainya orang-orang Makkah tahu bahwa kedatangannya itu untuk
menjumpai Nabi Muhammad SAW dan mendengarkan keterangan beliau, pastilah
mereka akan membunuhnya.
Ia terus melangkah sambil memasang
telinga, dan setiap didengarnya orang mengatakan tentang Rasulullah, ia
pun mendekat dan menyimak dengan hati-hati. Sehingga dari cerita yang
tersebar di sana-sini, diperolehnya petunjuk yang dapat mengarahkannya
ke kediaman Nabi Muhammad dan mempertemukannya dengan beliau.
Pada
suatu pagi, lelaki itu, Abu Dzar Al-Ghifari, pergi ke tempat tersebut.
Didapatinya Rasulullah sedang duduk seorang diri. Ia mendekat kemudian
menyapa, "Selamat pagi, wahai kawan sebangsa."
"Wa alaikum salam, wahai sahabat," jawab Rasulullah.
"Bacakanlah kepadaku hasil gubahan anda!"
"Ia bukan syair hingga dapat digubah, tetapi Al-Qur'an yang mulia," kata Rasulullah, kemudian membacakan wahyu Allah SWT.
Tak
berselang lama, Abu Dzar berseru, "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah, dan aku bahwa bersaksi bahwa engkau adalah hamba dan
utusan-Nya."
"Anda dari mana, kawan sebangsa?" tanya Rasulullah.
"Dari Ghifar," jawabnya.
Bibir
Rasulullah menyunggingkan senyum dan wajahnya diliputi rasa kagum dan
takjub. Abu Dzar juga tersenyum, karena ia mengetahui rasa terpendam di
balik kekaguman Rasulullah setelah mendengar bahwa orang yang telah
mengaku Islam di hadapannya secara terus terang itu adalah seorang
laki-laki dari Ghifar.
Ghifar adalah suatu kabilah atau suku yang
tidak ada taranya dalam soal menempuh jarak. Mereka jadi contoh
perbandingan dalam melakukan perjalanan yang luar biasa. Malam yang
kelam dan gelap gulita tak jadi soal bagi mereka. Dan celakalah orang
yang kesasar atau jatuh ke tangan kaum Ghifar di waktu malam.
Rasulullah pun bersabda, "Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada yang disukainya..."
Benar,
Allah menunjuki siapa saja yang Dia kehendaki. Abu Dzar adalah salah
seorang yang dikehendaki-Nya memperoleh petunjuk, orang yang dipilih-Nya
akan mendapat kebaikan. Ia termasuk orang yang pertama-tama masuk
Islam. Urutannya di kalangan Muslimin adalah yang kelima atau keenam.
Jadi ia telah memeluk agama itu di masa-masa awal, hingga keislamannya
termasuk dalam barisan terdepan.
Lelaki yang bernama Jundub bin
Junadah ini termasuk seorang radikal dan revolusioner. Telah menjadi
watak dan tabiatnya menentang kebatilan di mana pun ia berada. Dan kini
kebatilan itu nampak di hadapannya, berhala-berhala yang disembah oleh
para pemujanya—orang-orang yang merendahkan kepala dan akal mereka.
Baru
saja masuk Islam, ia sudah mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah.
"Wahai Rasulullah, apa yang sebaiknya saya kerjakan menurut anda?"
"Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintahku nanti!" jawab Rasulullah.
"Demi Tuhan yang menguasai jiwaku," kata Abu Dzar, "Saya takkan kembali sebelum meneriakkan Islam di depan Ka'bah."
Ia
pun menuju menuju Haram dan menyerukan syahadat dengan suara lantang.
Akibatnya, ia dipukuli dan disiksa oleh orang-orang musyrik yang tengah
berkumpul di sana. Rasulullah kembali menyuruhnya pulang dan menemui
keluarganya. Ia pun pulang ke Bani Ghifar dan mengajak sanak kerabatnya
memeluk agama baru ini.
Ketika Rasulullah dan kaum Muslimin telah
berhijrah ke Madinah dan menetap di sana, pada suatu hari, barisan
panjang yang terdiri atas para pengendara dan pejalan kaki menuju
pinggiran kota. Kalau bukan karena takbir yang mereka teriakkan dengan
suara bergemuruh, tentulah yang melihat akan menyangka mereka adalah
pasukan tentara musyrik yang akan menyerang kota.
Begitu
rombongan besar itu mendekat, lalu masuk ke dalam kota dan masuk ke
Masjid Rasulullah, ternyata mereka tiada lain adalah kabilah Bani
Ghifar. Semuanya telah masuk Islam tanpa kecuali; laki-laki, perempuan,
orang tua, remaja dan anak-anak.
Rasulullah semakin takjub dan
kagum. Beliau bersabda, "Takkan pernah lagi dijumpai di bawah langit
ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar. Benar batinnya,
benar juga lahirnya. Benar akidahnya, benar juga ucapannya."
Pada
suatu ketika, Rasulullah SAW mengajukan pertanyaan kepadanya. "Wahai
Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang
mengambil upeti untuk diri mereka?"
Ia menjawab, "Demi Allah yang telah mengutus anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedangku!"
"Maukah kau kutunjukkan jalan yang lebih baik dari itu? Bersabarlah hingga kau menemuiku!"
Abu
Dzar akan selalu ingat wasiat guru dan Rasul ini. Ia tidak akan
menggunakan ketajaman pedang terhadap para pembesar yang mengambil
kekayaan dari harta rakyat sebagaimana ancamannya dulu. Namun ia juga
tidak akan bungkam atau berdiam diri mengetahui kesesatan mereka.
Ketika
kepemimpinan Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin telah berlalu, dan
godaan harta mulai menjangkiti para pembesar dan penguasa Islam, Abu
Dzar turun tangan. Ia pergi ke pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta,
dengan lisannya yang tajam dan benar untuk merubah sikap dan mental
mereka satu per satu.
Dalam beberapa hari saja tak ubahnya ia
telah menjadi panji-panji yang di bawahnya bernaung rakyat banyak dan
golongan pekerja, bahkan sampai di negeri jauh yang penduduknya pun
belum pernah melihatnya. Nama Abu Dzar bagaikan terbang ke sana, dan tak
satu pun daerah yang dilaluinya, bahkan walaupun baru namanya yang
sampai ke sana, sudah menimbulkan rasa takut dan ngeri pihak penguasa
dan golongan berharta yang berlaku curang.
Penggerak hidup
sederhana ini selalu mengulang-ulang pesannya, dan bahkan diulang-ulang
juga oleh para pengikutnya, seolah lagu perjuangan. "Beritakanlah kepada
para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak. Mereka akan
diseterika dengan seterika api neraka, menyeterika kening dan pinggang
mereka di hari kiamat!"
Abu Dzar telah mencurahkan segala tenaga
dan kemampuannya untuk melakukan perlawanan secara damai dan menjauhkan
diri dari segala kehidupan dunia. Ia menjadi maha guru dalam seni
menghindarkan diri dari godaan jabatan dan harta kekayaan.
Abu
Dzar mengakhiri hidupnya di tempat sunyi bernama Rabadzah, pinggiran
Madinah. Ketika menghadapi sakaratul maut, istrinya menangis di sisinya.
Ia bertanya, "Apa yang kau tangiskan, padahal maut itu pasti datang?"
Istrinya menjawab, "Karena engkau akan meninggal, padahal kita tidak mempunyai kain kafan untukmu!"
"Janganlah
menangis," kata Abu Dzar, "Pada suatu hari, ketika aku berada di
majelis Rasulullah bersama beberapa sahabat, aku mendengar beliau
bersabda, 'Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan
meninggal di padang pasir liar, dan disaksikan oleh serombongan orang
beriman.'
Semua yang ada di majelis itu sudah meninggal di
kampung, di hadapan kaum Muslimin. Tak ada lagi yang masih hidup selain
aku. Inilah aku sekarang, menghadapi sakaratul maut di padang pasir.
Maka perhatikanlah jalan itu, siapa tahu kalau rombongan orang-orang
beriman itu sudah datang. Demi Allah, aku tidak bohong, dan tidak juga
dibohongi!"
Ruhnya pun kembali ke hadirat Ilahi... Dan benarlah,
ada rombongan kaum Muslimin yang lewat yang dipimpin oleh Abdullah bin
Mas'ud. Sebelum sampai ke tujuan, Ibnu Mas'ud melihat sosok tubuh
terbujur kaku, sedang di sisinya terdapat seorang wanita tua dan seorang
anak kecil, kedua-duanya menangis.
Ketika pandangan Ibnu Mas'ud
jatuh ke mayat tersebut, tampaklah Abu Dzar Al-Ghifari. Air matanya
mengucur deras. Di hadapan jenazah itu, Ibnu Mas'ud berkata, "Benarlah
ucapan Rasulullah, anda berjalan sendirian, mati sendirian, dan
dibangkitkan kembali seorang diri!"