This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 28 Agustus 2012

SEJARAH MUHAMAMMADIYAH YANG DISEMBUNYIKAN SEJARAH


Muhammadiyah di dirikan oleh KH Achmad Dahlan pada tahun 1912. Beliau adl tokoh tareqah yang menjalankan petuah dari mbah Sholeh Darat untuk berjuang di sisi kota. Pembagian wilayah dakwah untuk me
nanggulangi gencarnya perekrutan kaum muda khususnya kalangan ningrat oleh kolonialis Belanda di dunia pendidikan. Tujuan Belanda mencetak kader-kader yang melunturkan semang
at perjuangan untuk mencapai kemerdekaan.


Kemunculannya menjadi sorotan kolonialis Belanda dan sangat menghawatirkan langkah-langkah K.H. Achmad Dahlan dengan organisasinya. Sehingga beliau jadi target untuk dibunuh dengan mengirimkan beberapa pemuda pribumi. Namun karena banyaknya jamaah waktu itu, KH AHmad Dahlan sulit didekati. Maka Belanda membuat strategi baru untuk menyusup di organisasi Muhammadiyah.

Dididiklah seorang pemuda dari sumatera (Aceh) bernama Muhammad Basya Dahlan, pemuda tersebut dikirim ke Kerajaan Saudi yang saat itu telah di kuasai kolonialis Inggris yang menyeponsori aliran aliran wahabi. Kemudian Muhammad Basya Dahlan yang dilatih khusus oleh Van Der Plassk, menyusup ke organisasi Muhammadiyah dengan membawa ajaran wahabi. Dana jutaan gulden dikeluarkan Belanda untuk menjadikan Muhammad Basya Dahlan menjadi orang penting di tubuh Muhammadiyah. Ia pun berhasil mengolah dan mengubah hampir semua ajaran KH Achmad Dahlan sehingga Muhammadiyah menjadi paham baru yang beraliran Islam Garis Keras.

Sang penyusup pun mencetak kader-kader yang mendukung gerakan Wahabi. Sampai akhirnya KH Achmad Dahlan dan sebagian kecil pengikutnya menyingkir dari kota Jogjakarta untuk menetap di pelosok lereng Gunung Merapi, tempat yang sangat sulit di jangkau oleh orang-orang yang mengejar beliau.

Sampai K.H. Achmad Dahlan wafat, hanya sebagian kecil pengikutnya yang sampai saat ini masih meneruskan ajaran beliau. Mereka menyebut diri sebagai "Muhammadiyah Dalam", adapun ajaran Muhammad Basya Dahlan adalah "Muhammadiyah Luar".

Aliran Muhammad Basya Dahlan inilah yang sampai saat ini berkembang ke seluruh penjuru dengan ajaran wahabinya yang memusuhi Ahlul Bait dan ajaran Mbah Sholeh Darat. Ajaran ini pula yang memusuhi umat Islam yang mengikuti KH Hasyim Asyari. Bahkan menuding kaum muslimin selain mereka telah musyrik atau kafir. Tujuan utamanya adalah memusnahkan Ahlul Bait dan Ahlus sunnah wal jamaah...

Muhammadiyah Luar ini juga memusuhi kitab-kitab Kyai Sholeh Darat seperti maulid burdah, tahlil, dan lainnya. Termasuk yang menganut paham ini justru beberapa keturunan Mbah Soleh Darat sendiri, sehingga berpuluh tahun masjid peninggalan beliau terbengkalai.

Artikel ini dibuat Gus Luqman Hakim Saktiawan, cicit KH Soleh Darat yg di edit seperlunya. Diolah dari berbagai sumber...

Jumat, 03 Agustus 2012

Kisah Sahabat Nabi: Ubay bin Kaab, Penyeru Persatuan (1)

techang.free.fr
Kisah Sahabat Nabi: Ubay bin Kaab, Penyeru Persatuan (1)
Pada suatu hari Rasulullah SAW bertanya kepada salah seorang sahabatnya, “Hai Abu Munzir, Ayat manakah dari Kitabullah yang teragung?”
Sahabat itu menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”

Nabi SAW mengulangi pertanyaan­nya, “Abu Munzir, ayat manakah dari Kitabullah yang teragung?”

Ia menjawab, “Allah tiada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Hidup lagi Mahapengatur.” (QS. Al-Baqarah: 255).

Rasulullah SAW pun menepuk dadanya, dan dengan rasa bangga yang tecermin di wajahnya, beliau bersabda, “Hai Abu Munzir, selamat bagimu atas ilmu yang kau capai.”

Abu Munzir yang mendapat ucapan selamat dari Rasulullah SAW yang mulia atas ilmu dan pengertian yang dikaruniakan Allah kepadanya itu, tiada lain adalah Ubay bin Ka’ab, seorang sahabat yang mulia.

Ia adalah seorang warga Anshar dari suku Khazraj, dan ikut mengambil bagian dalam Baiat Aqabah, Perang Badar dan peperangan-peperangan penting lainnya. Ia mencapai kedudukan tinggi dan derajat mulia di kalangan Muslimin angkatan pertama, hingga Amirul Mukminin Umar RA sendiri pernah mengatakan tentang dirinya, “Ubay adalah pemimpin Kaum Muslimin.”

Ubai bin Ka’ab RA merupakan salah seorang penulis dari beberapa orang penulis wahyu dan penulis-penulis surat. Begitu pun dalam menghafal Alquranul Karim, membaca dan memahami ayat-ayatnya, ia termasuk golongan terkemuka.

Pada suatu hari, Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Hai Ubay bin Ka’ab, aku dititahkan untuk menyampaikan Alquran padamu.” Ubay maklum bahwa Rasulullah SAW hanya menerima perintah-perintah itu dari wahyu.

Dengan harap-harap cemas ia menanyakan kepada Rasulullah Saw, ”Wahai Rasulullah, ibu-bapakku menjadi tebusan anda! Apakah kepada anda disebut namaku?”

Rasulullah SAW menjawab, “Benar! Namamu dan turunanmu di tingkat tertinggi.”

Seorang Muslim yang mencapai kedudukan seperti ini di hati Nabi SAW pastilah ia seorang Muslim yang mulia. Selama tahun-tahun persahabatan, yaitu ketika Ubay bin Ka’ab RA selalu berdekatan dengan Nabi SAW, tak putus-putusnya ia mereguk dari telaganya yang dalam itu airnya yang manis.

Setelah berpulangnya Rasulullah SAW, Ubay bin Ka’ab menepati janjinya dengan tekun dan setia, baik dalam beribadah, dalam keteguhan beragama dan keluhuran budi.

Di samping itu tiada henti-hentinya ia menjadi pengawas bagi kaumnya. Diingatkannya mereka akan masa-masa Rasulullah SAW masih hidup, diperingatkan keteguhan iman mereka, sifat zuhud, perangai dan budi pekerti mereka.

Kisah Sahabat Nabi: Umair bin Saad, Tokoh tak Ada Duanya (2)

Blogspot.com
Kisah Sahabat Nabi: Umair bin Saad, Tokoh tak Ada Duanya (2)
Ilustrasi
REPUBLIKA.CO.ID, Kebingungannya tidaklah berjalan lama, karena jiwa yang tulus selalu menemukan jalan keluar bagi penyelesaiannya. Keberanian Umair segera muncul. Apa pun yang terjadi ia harus berbuat.

Ia pun segera menemui Jullas seraya berkata, “Demi Allah, hai Jullas! Engkau adalah orang yang paling kucintai, dan yang paling banyak berjasa kepadaku, dan yang paling tidak kusukai akan ditimpa sesuatu yang tidak menyenangkan.”

“Engkau telah melontarkan ucapan, seandainya ucapan itu kusebarkan dan sumbernya daripadamu, niscaya akan menyakitkan hatimu. Tetapi seandainya kubiarkan, tentulah agamaku akan tercemar. Padahal hak agama itu lebih utama ditunaikan. Dari itu aku akan menyampaikan apa yang kudengar kepada Rasulullah!”

Demikianlah, Umair telah memenuhi keinginan hatinya yang saleh secara sempurna. Pertama, ia telah menunaikan hak majelis sesuai dengan amanat, dan dengan kebesaran jiwanya membebaskan diri dari berperan sebagai orang yang mendengarkan kata orang lalu menyampaikannya kepada orang lain.

Kedua, ia telah menunaikan hak agamanya yaitu dengan menyingkapkan sifat kemunafikan yang meragukan. Ketiga, ia telah memberi kesempatan kepada Jullas untuk kembali dari kesalahan dan memohon ampun kepada Allah atas kekeliruannya.

Ketika secara terus terang dikatakan kepada Jullas, bahwa persoalan ini akan disampaikannya kepada Rasulullah ampun, maka hati Umair akan lega karena tak perlu lagi meneruskannya kepada Rasulullah.

Tetapi, rupanya Jullas telah dipengaruhi betul oleh rasa sombong dengan dosanya itu. Tidak ada perasaan menyesal sedikit pun atau keinginan untuk bertobat. Hingga terpaksalah Umair meninggalkannya seraya berkata, “Akan kusampaikan kepada Rasulullah sebelum Tuhan menurunkan wahyu yang melibatkan diriku dengan dosamu!”

Begitu mendapat laporan dari Umair, Rasulullah mengirimkan orang mencari Jullas. Ketika dihadapkan kepada Rasulullah, Jullas mengingkari ucapannya. Bahkan, ia mengangkat sumpah palsu atas nama Allah.
Lalu, turunlah ayat Al-Qur’an yang memisahkan antara yang hak dengan yang bathil. Allah berfirman, “Mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidah mengatakan sesuatu (yang menyakitkan hatimu). Padahal mereka telah mengucapkan kata-kata kufur, dan mereka telah kafir sesudah Islam, serta mereka mencita-citakan sesuatu yang tak dapat mereka capai."
"Dan tak ada yang menimbulkan dendam kemarahan mereka hanyalah lantaran Allah dan Rasul-Nya telah menjadikan mereka berkecukupan disebabkan karunia-Nya. Seandainya mereka bertaubat, maka itulah yang terlebih baik bagi mereka, dan seandainya mereka berpaling, Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih di dunia dan ahhirat. Mereka tidak akan mempunyai pembela maupun penolong di muka bumi.” (QS. At-Taubah: 74)

Selasa, 31 Juli 2012

Fathimah Binti Asad: Wanita Mulia Penolong Rasulullah SAW

.free-extras.
Fathimah Binti Asad: Wanita Mulia Penolong Rasulullah SAW
Gurun pasir (ilustrasi)

''Dia adalah wanita yang sangat saleh. Bahkan, Nabi SAW sering mengunjungi dan beristirahat siang di rumahnya,'' begitulah Ibnu Sa'id melukiskan keagungan Fathimah binti Asad bin Hisyam bin Abdi Manaf. 

Ia adalah istri Abu Thalib bin Abdul Muthalib – paman Nabi Muhammad SAW. Fathimah juga ibu kandung Khalifah ar-Rasyidin keempat, Ali bin Abi Thalib.  Fathimah adalah sosok wanita mulia yang telah mendukung dan membantu perjuangan Rasulullah dalam menyebarkan Islam, setelah wafatnya Abu Thalib dan Khadijah RA

Muhammad Ibrahim Salim dalam bukunya berjudul Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah SAW, mengungkapkan, Fathimah  merupakan seorang wanita  dengan ide-ide cemerlang, penuh kelembutan, pandai serta kehormatan dan kedudukannya yang melebihi wanita lain.

Ketika tahun 10 kenabian, Rasulullah SAW mengalami amul huzn yang berarti tahun kesedihan -- setelah meninggalnya Abu Thalib dan Khadijah RA – Fathimah tampil menjadi sosok pengganti keduanya. Ia begitu mendukung dan membantu setiap perjuangan Rasulullah SAW dalam menyebarkan agama Islam.

Fathimah membela Rasulullah SAW dari tekanan kaum Kafir Quraisy, hingga akhirnya berhasil hijrah ke Madinah.  Ia pun turut berhijrah ke kota suci kedua bagi umat Muslim itu bersama kaum Muslimin lainnya. Bagi Fathimah binti Asad, Madinah merupakan kota yang penuh dengan kebahagiaan serta kemuliaan, seperti halnya Makkah.

Dedikasi dan pengorbanan Fathimah dalam membela agama Allah SWT sungguh sangat ternilai. Ia sungguh wanita yang agung. Rasulullah SAW begitu menghormati sosok Fathimah, bibi, sekaligus besannya. Dalam sebuah hadis yang dikeluarkan Ibnu Abi Ashim dari dari Abdullah bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Abu Thalib dikisahkan bawah ketika Fathimah wafat, Rasulullah SAW mengkafaninya dengan bajunya.

Lalu Rasulullah SAW bersabda, ''Sepeninggal Abu Thalib, saya belum pernah menemukan orang yang lebih baik padaku selain Fathimah bin Asad.''  Bahkan, Rasulullah SAW juga sampai turun ke liang lahat untuk kemudian membaringkan jasad wanita yang suci itu. Sehingga, terpancarlah cahaya Illahi dalam kuburannya dengan semerbak harum roh sucinya dan curahan rahmat Sang Pencipta.

Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, ''Wahai Rasulullah, kami belum pernah melihat engkau berbuat kepada seseorang seperti yang engkau lakukan kepada wanita ini (Fathimah binti Asad).'' Lalu Rasulullah menjawab, ''Sesungguhnya, tidak ada orang yang lebih baik padaku setelah wafatnya Abu Thalib, selain dia.''

Begitu banyaknya kebaikan Fathimah, baik kepada Rasulullah maupun kepada puterinya,  sehingga  Nabi Muhammad SAW tak pernah melupakan sosok perempuan yang agung itu. Selama hidupnya, Fathimah memang dikenal sebagai sosok penolong agama Allah. Ia juga merupakan pendamping setia perjuangan Rasulullah SAW. Ia dikenal sebagai wanita yang mempunyai pengetahuan berlimpah tentang agama.

Kehidupannya, dipenuhi dengan aktivitas dakwah Islamiyah. Ia juga termasuk salah seorang Muslimah yang juga turut meriwayatkan hadis. Ia telah meriwayatkan sebanyak 46 hadis. Dalam kitab shahihain, menurut Ibrahim Saliim, Fathimah binti Asad meriwayatkan satu hadis Muttafaq 'alaih.

Mengenai waktu wafatnya Fathimah, para ulama berbeda pendapat. Menurut Ibnu Hajar, Fathimah binti Asad wafat sebelum hijrah Nabi SAW. Namun, berdasarkan pendapat yang diyakini kebenarannya, Muslimah agung itu tutup usia setelah turut hijrah menyusul Rasulullah SAW. Ia wafat dan dimakamkan di kota nabi, Madinah.

Hal itu dibenarkan oleh asy-Sya'bi yang mengatakan bahwa Fathimah masuk Islam di Makkah, lalu turut menyusul Rasulullah SAW ke Madinah dan meninggal dunia di kota itu. Fathimah binti Asad adalah wanita yang layak dicontoh para Muslimah sepanjang masa. Ia merupakan sosok perempuan yang istiqamah, tak mengenal lelah, membantu memperjuangkan agama Allah SWT.

Allah SWT memberi keutamaan kepada seseorang yang dikendaki-Nya. Sebab, hanya Dialah pemilik keutamaan yang paling agung.

Kisah Sahabat Nabi: Saad bin Abi Waqqash, Lelaki Penghuni Surga

Blogspot.com
Kisah Sahabat Nabi: Saad bin Abi Waqqash, Lelaki Penghuni Surga
Ilustrasi
 “Aku adalah orang ketiga yang memeluk Islam, dan orang pertama yang melepaskan anak panah di jalan Allah,”

Demikianlah Sa’ad bin Abi Waqqash mengenalkan dirinya. Ia adalah orang ketiga yang memeluk Islam, dan orang pertama yang melepaskan anak panah dari busurnya di jalan Allah.

Sa’ad bin Abi Waqqash bin Wuhaib bin Abdi Manaf hidup di tengah-tengah Bani Zahrah yang merupakan paman Rasulullah SAW. Wuhaib adalah kakek Sa’ad dan paman Aminah binti Wahab, ibunda Rasulullah.

Sa’ad dikenal orang karena ia adalah paman Rasulullah SAW.  Dan beliau sangat bangga dengan keberanian dan kekuatan, serta ketulusan iman Sa'ad. Nabi bersabda, “Ini adalah pamanku, perlihatkan kepadaku paman kalian!”

Keislamannya termasuk cepat, karena ia mengenal baik pribadi Rasulullah SAW. Mengenal kejujuran dan sifat amanah beliau. Ia sudah sering bertemu Rasulullah sebelum beliau diutus menjadi nabi. Rasulullah juga mengenal Sa’ad dengan baik. Hobinya berperang dan orangnya pemberani. Sa’ad sangat jago memanah, dan selalu berlatih sendiri.

Kisah keislamannya sangatlah cepat, dan ia pun menjadi orang ketiga dalam deretan orang-orang yang pertama masuk Islam, Assabiqunal Awwalun.

Sa’ad adalah seorang pemuda yang sangat patuh dan taat kepada ibunya. Sedemikian dalam sayangnya Sa’ad pada ibunya, sehingga seolah-olah cintanya hanya untuk sang ibu yang telah memeliharanya sejak kecil hingga dewasa, dengan penuh kelembutan dan berbagai pengorbanan.

Ibu Sa’ad bernama Hamnah binti Sufyan bin Abu Umayyah adalah seorang wanita hartawan keturunan bangsawan Quraisy, yang memiliki wajah cantik dan anggun. Disamping itu, Hamnah juga seorang wanita yang terkenal cerdik dan memiliki pandangan yang jauh. Hamnah sangat setia kepada agama nenek moyangnya; penyembah berhala.

Pada suatu hari, Abu Bakar Ash-Shiddiq mendatangi Sa'ad di tempat kerjanya dengan membawa berita dari langit tentang diutusnya Muhammad SAW, sebagai Rasul Allah. Ketika Sa’ad menanyakan, siapakah orang-orang yang telah beriman kepada Muhammad SAW. Abu Bakar mengatakan dirinya sendiri, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah.

Seruan ini mengetuk kalbu Sa’ad untuk menemui Rasulullah SAW, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia pun memeluk agama Allah pada saat usianya baru menginjak 17 tahun. Sa’ad termasuk dalam deretan lelaki pertama yang memeluk Islam selain Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar As Siddiq dan Zaid bin Haritsah.

Setelah memeluk Islam, keadaannya tidak jauh berbeda dengan kisah keislaman para sahabat lainnya. Ibunya sangat marah dengan keislaman Sa'ad. “Wahai Sa’ad, apakah engkau rela meninggalkan agamamu dan agama bapakmu, untuk mengikuti agama baru itu? Demi Allah, aku tidak akan makan dan minum sebelum engkau meninggalkan agama barumu itu,” ancam sang ibu.

Sa’ad menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan agamaku!”

Sang ibu tetap nekat, karena ia mengetahui persis bahwa Sa’ad sangat menyayanginya. Hamnah mengira hati Sa'ad akan luluh jika melihatnya dalam keadaan lemah dan sakit. Ia tetap mengancam akan terus melakukan mogok makan.

Namun, Sa’ad lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya. “Wahai Ibunda, demi Allah, seandainya engkau memiliki 70 nyawa dan keluar satu per satu, aku tidak akan pernah mau meninggalkan agamaku selamanya!” tegas Sa'ad.

Akhirnya, sang ibu yakin bahwa anaknya tidak mungkin kembali seperti sedia kala. Dia hanya dirundung kesedihan dan kebencian.

Allah SWT mengekalkan peristiwa yang dialami Sa’ad dalam ayat Al-Qur’an, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15).

Pada suatu hari, ketika Rasulullah SAW, sedang duduk bersama para sahabat, tiba-tiba beliau menatap ke langit seolah mendengar bisikan malaikat. Kemudian Rasulullah kembali menatap mereka dengan bersabda, "Sekarang akan ada di hadapan kalian seorang laki-laki penduduk surga."
Mendengar ucapan Rasulullah SAW, para sahabat menengok ke kanan dan ke kiri pada setiap arah, untuk melihat siapakah gerangan lelaki berbahagia yang menjadi penduduk surga. Tidak lama berselang datanglah laki-laki yang ditunggu-tunggu itu, dialah Sa’ad bin Abi Waqqash.

Disamping terkenal sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, Sa’ad bin Abi Waqqash juga terkenal karena keberaniannya dalam peperangan membela agama Allah. Ada dua hal penting yang dikenal orang tentang kepahlawanannya. Pertama, Sa’ad adalah orang yang pertama melepaskan anak panah dalam membela agama Allah dan juga orang yang mula-mula terkena anak panah. Ia hampir selalu menyertai Nabi Saw dalam setiap pertempuran.

Kedua, Sa’ad adalah satu-satunya orang yang dijamin oleh Rasulullah SAW dengan jaminan kedua orang tua beliau. Dalam Perang Uhud, Rasulullah SAW bersabda, "Panahlah, wahai Sa’ad! Ayah dan ibuku menjadi jaminan bagimu."

Sa’ad bin Abi Waqqash juga dikenal sebagai seorang sahabat yang doanya senantiasa dikabulkan Allah. Qais meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Ya Allah, kabulkanlah Sa’ad jika dia berdoa.”
Sejarah mencatat, hari-hari terakhir Sa’ad bin Abi Waqqash adalah ketika ia memasuki usia 80 tahun. Dalam keadaan sakit, Sa’ad berpesan kepada para sahabatnya agar ia dikafani dengan jubah yang digunakannya dalam Perang Badar—perang kemenangan pertama untuk kaum Muslimin.

Pahlawan perkasa ini menghembuskan nafas yang terakhir pada tahun 55 H dengan meninggalkan kenangan indah dan nama yang harum. Ia dimakamkan di pemakaman Baqi’, makamnya para syuhada.

Kisah Sahabat Nabi: Abu Dzar Al-Ghifari, Tokoh Gerakan Hidup Sederhana

fairuz-azzanky.blogspot.com
Kisah Sahabat Nabi: Abu Dzar Al-Ghifari, Tokoh Gerakan Hidup Sederhana
Ia datang ke Makkah sambil terhuyung-huyung, namun sinar matanya bersinar bahagia. Memang, sulitnya perjalanan dan teriknya matahari yang menyengat tubuhnya cukup menyakitkan. Namun tujuan yang hendak dicapainya telah meringankan penderitaan dan meniupkan semangat kegembiraan.

Ia memasuki kota dengan menyamar seolah-olah hendak melakukan thawaf mengelilingi berhala-berhala di sekitar Ka'bah, atau seolah-olah musafir yang sesat dalam perjalanan, yang memerlukan istirahat dan menambah perbekalan.

Padahal seandainya orang-orang Makkah tahu bahwa kedatangannya itu untuk menjumpai Nabi Muhammad SAW dan mendengarkan keterangan beliau, pastilah mereka akan membunuhnya.

Ia terus melangkah sambil memasang telinga, dan setiap didengarnya orang mengatakan tentang Rasulullah, ia pun mendekat dan menyimak dengan hati-hati. Sehingga dari cerita yang tersebar di sana-sini, diperolehnya petunjuk yang dapat mengarahkannya ke kediaman Nabi Muhammad dan mempertemukannya dengan beliau.

Pada suatu pagi, lelaki itu, Abu Dzar Al-Ghifari, pergi ke tempat tersebut. Didapatinya Rasulullah sedang duduk seorang diri. Ia mendekat kemudian menyapa, "Selamat pagi, wahai kawan sebangsa."

"Wa alaikum salam, wahai sahabat," jawab Rasulullah.

"Bacakanlah kepadaku hasil gubahan anda!"

"Ia bukan syair hingga dapat digubah, tetapi Al-Qur'an yang mulia," kata Rasulullah, kemudian membacakan wahyu Allah SWT.

Tak berselang lama, Abu Dzar berseru, "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bahwa bersaksi bahwa engkau adalah hamba dan utusan-Nya."

"Anda dari mana, kawan sebangsa?" tanya Rasulullah.

"Dari Ghifar," jawabnya.

Bibir Rasulullah menyunggingkan senyum dan wajahnya diliputi rasa kagum dan takjub. Abu Dzar juga tersenyum, karena ia mengetahui rasa terpendam di balik kekaguman Rasulullah setelah mendengar bahwa orang yang telah mengaku Islam di hadapannya secara terus terang itu adalah seorang laki-laki dari Ghifar.

Ghifar adalah suatu kabilah atau suku yang tidak ada taranya dalam soal menempuh jarak. Mereka jadi contoh perbandingan dalam melakukan perjalanan yang luar biasa. Malam yang kelam dan gelap gulita tak jadi soal bagi mereka. Dan celakalah orang yang kesasar atau jatuh ke tangan kaum Ghifar di waktu malam.

Rasulullah pun bersabda, "Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada yang disukainya..."

Benar, Allah menunjuki siapa saja yang Dia kehendaki. Abu Dzar adalah salah seorang yang dikehendaki-Nya memperoleh petunjuk, orang yang dipilih-Nya akan mendapat kebaikan. Ia termasuk orang yang pertama-tama masuk Islam. Urutannya di kalangan Muslimin adalah yang kelima atau keenam. Jadi ia telah memeluk agama itu di masa-masa awal, hingga keislamannya termasuk dalam barisan terdepan.

Lelaki yang bernama Jundub bin Junadah ini termasuk seorang radikal dan revolusioner. Telah menjadi watak dan tabiatnya menentang kebatilan di mana pun ia berada. Dan kini kebatilan itu nampak di hadapannya, berhala-berhala yang disembah oleh para pemujanya—orang-orang yang merendahkan kepala dan akal mereka.

Baru saja masuk Islam, ia sudah mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah. "Wahai Rasulullah, apa yang sebaiknya saya kerjakan menurut anda?"

"Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintahku nanti!" jawab Rasulullah.

"Demi Tuhan yang menguasai jiwaku," kata Abu Dzar, "Saya takkan kembali sebelum meneriakkan Islam di depan Ka'bah."

Ia pun menuju menuju Haram dan menyerukan syahadat dengan suara lantang. Akibatnya, ia dipukuli dan disiksa oleh orang-orang musyrik yang tengah berkumpul di sana. Rasulullah kembali menyuruhnya pulang dan menemui keluarganya. Ia pun pulang ke Bani Ghifar dan mengajak sanak kerabatnya memeluk agama baru ini.

Ketika Rasulullah dan kaum Muslimin telah berhijrah ke Madinah dan menetap di sana, pada suatu hari, barisan panjang yang terdiri atas para pengendara dan pejalan kaki menuju pinggiran kota. Kalau bukan karena takbir yang mereka teriakkan dengan suara bergemuruh, tentulah yang melihat akan menyangka mereka adalah pasukan tentara musyrik yang akan menyerang kota.

Begitu rombongan besar itu mendekat, lalu masuk ke dalam kota dan masuk ke Masjid Rasulullah, ternyata mereka tiada lain adalah kabilah Bani Ghifar. Semuanya telah masuk Islam tanpa kecuali; laki-laki, perempuan, orang tua, remaja dan anak-anak.

Rasulullah semakin takjub dan kagum. Beliau bersabda, "Takkan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar. Benar batinnya, benar juga lahirnya. Benar akidahnya, benar juga ucapannya."

Pada suatu ketika, Rasulullah SAW mengajukan pertanyaan kepadanya. "Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil upeti untuk diri mereka?"

Ia menjawab, "Demi Allah yang telah mengutus anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedangku!"

"Maukah kau kutunjukkan jalan yang lebih baik dari itu? Bersabarlah hingga kau menemuiku!"

Abu Dzar akan selalu ingat wasiat guru dan Rasul ini. Ia tidak akan menggunakan ketajaman pedang terhadap para pembesar yang mengambil kekayaan dari harta rakyat sebagaimana ancamannya dulu. Namun ia juga tidak akan bungkam atau berdiam diri mengetahui kesesatan mereka.

Ketika kepemimpinan Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin telah berlalu, dan godaan harta mulai menjangkiti para pembesar dan penguasa Islam, Abu Dzar turun tangan. Ia pergi ke pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta, dengan lisannya yang tajam dan benar untuk merubah sikap dan mental mereka satu per satu.

Dalam beberapa hari saja tak ubahnya ia telah menjadi panji-panji yang di bawahnya bernaung rakyat banyak dan golongan pekerja, bahkan sampai di negeri jauh yang penduduknya pun belum pernah melihatnya. Nama Abu Dzar bagaikan terbang ke sana, dan tak satu pun daerah yang dilaluinya, bahkan walaupun baru namanya yang sampai ke sana, sudah menimbulkan rasa takut dan ngeri pihak penguasa dan golongan berharta yang berlaku curang.

Penggerak hidup sederhana ini selalu mengulang-ulang pesannya, dan bahkan diulang-ulang juga oleh para pengikutnya, seolah lagu perjuangan. "Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak. Mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, menyeterika kening dan pinggang mereka di hari kiamat!"

Abu Dzar telah mencurahkan segala tenaga dan kemampuannya untuk melakukan perlawanan secara damai dan menjauhkan diri dari segala kehidupan dunia. Ia menjadi maha guru dalam seni menghindarkan diri dari godaan jabatan dan harta kekayaan.

Abu Dzar mengakhiri hidupnya di tempat sunyi bernama Rabadzah, pinggiran Madinah. Ketika menghadapi sakaratul maut, istrinya menangis di sisinya. Ia bertanya, "Apa yang kau tangiskan, padahal maut itu pasti datang?"

Istrinya menjawab, "Karena engkau akan meninggal, padahal kita tidak mempunyai kain kafan untukmu!"

"Janganlah menangis," kata Abu Dzar, "Pada suatu hari, ketika aku berada di majelis Rasulullah bersama beberapa sahabat, aku mendengar beliau bersabda, 'Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal di padang pasir liar, dan disaksikan oleh serombongan orang beriman.'

Semua yang ada di majelis itu sudah meninggal di kampung, di hadapan kaum Muslimin. Tak ada lagi yang masih hidup selain aku. Inilah aku sekarang, menghadapi sakaratul maut di padang pasir. Maka perhatikanlah jalan itu, siapa tahu kalau rombongan orang-orang beriman itu sudah datang. Demi Allah, aku tidak bohong, dan tidak juga dibohongi!"

Ruhnya pun kembali ke hadirat Ilahi... Dan benarlah, ada rombongan kaum Muslimin yang lewat yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas'ud. Sebelum sampai ke tujuan, Ibnu Mas'ud melihat sosok tubuh terbujur kaku, sedang di sisinya terdapat seorang wanita tua dan seorang anak kecil, kedua-duanya menangis.

Ketika pandangan Ibnu Mas'ud jatuh ke mayat tersebut, tampaklah Abu Dzar Al-Ghifari. Air matanya mengucur deras. Di hadapan jenazah itu, Ibnu Mas'ud berkata, "Benarlah ucapan Rasulullah, anda berjalan sendirian, mati sendirian, dan dibangkitkan kembali seorang diri!"

SANG SUFI...SAHABAT ABU DARDA'

Kisah Sahabat Nabi: Abu Darda', Ahli Hikmah yang Budiman
 Pada saat balatentara Islam berperang, kalah dan menang di beberapa penjuru bumi, di kota Madinah berdiam seorang ahli hikmah dan filsuf yang mengagumkan. Dari dirinya memancar mutiara yang cemerlang dan bernilai.

Ia senantiasa mengucapkan kata-kata indah kepada masyarakat sekelilingnya, "Maukah kamu sekalian, aku kabarkan amalan-amalan yang terbaik. Amalan yang terbersih di sisi Allah dan paling meninggikan derajat kalian. Lebih baik dari memerangi musuh dengan menghantam batang leher mereka, lalu mereka pun menebas batang lehermu, dan malah lebih baik dari emas dan perak?"

Para pendengarnya menjulurkan kepala mereka ke depan karena ingin tahu, lalu bertanya, "Apakah itu wahai, Abu Darda'?"

Abu Darda' menjawab, "Dzikrullah!"

Ahli hikmah yang mengagumkan ini bukannya menganjurkan orang menganut filsafat dan mengasingkan diri. Ia juga tidak bermaksud menyuruh orang meninggalkan dunia, dan tidak juga mengabaikan hasil agama ini yang telah dicapai dengan jihad fi sabilillah.

Abu Darda' bukanlah tipe orang semacam itu, karena ia telah ikut berjihad mempertahankan agama Allah bersama Rasulullah SAW hingga datangnya pertolongan Allah dengan pembebasan dan kemenangan merebut kota Makkah.

Abu Darda' adalah ahli hikmah yang besar di zamannya. Ia adalah sosok yang telah dikuasai oleh kerinduan yang amat besar untuk melihat hakikat dan menemukannya. Ia menyerahkan diri secara bulat kepada Allah, berada di jalan lurus hingga mencapai tingkat kebenaran yang teguh.

Pernah ibunya ditanyai orang tentang amalan yang sangat disenangi Abu Darda'. Sang ibu menjawab, "Tafakur dan mengambil i'tibar (pelajaran)."

Pada saat memeluk Islam dan berbaiat pada Rasulullah SAW, Abu Darda' adalah seorang saudagar kaya yang berhasil di antara para saudagar kota Madinah. Dan sebelum memeluk Islam, ia telah menghabiskan sebagian besar umurnya dalam perniagaan, bahkan sampai Rasulullah dan kaum Muslimin lainnya hijrah ke Madinah. Tidak lama setelah memeluk Islam, kehidupannya berbalik arah.

"Aku tidak mengharamkan jual-beli. Hanya saja, aku pribadi lebih menyukai diriku termasuk dalam golongan orang yang perniagaan dan jual-beli itu tidak melalaikannya dari dzikir kepada Allah," ujarnya.

Abu Darda' sangat terkesan hingga mengakar ke dasar jiwanya dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang berisi bantahan terhadap, "Orang yang mengumpul-ngumpulkan harta dan menghitung-hitungnya." (QS Al-Humazah: 2-3).

Ia juga sangat terkesan sabda Rasulullah SAW, "Yang sedikit mencukupi, lebih baik daripada yang banyak namun merugikan."

Oleh sebab itulah, ia kerap menangisi mereka yang jatuh menjadi tawanan harta kekayaan. "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hati yang bercabang-cabang."

Orang-orang bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan hati yang bercabang-cabang itu?"

"Memiliki harta benda di setiap lembah!" jawabnya. Ia mengimbau manusia untuk memiliki dunia tanpa terikat padanya. Itulah cara pemilikan hakiki. Adapun keinginan hendak menguasainya secara serakah, takkan pernah ada kesudahannya. Maka yang demikian adalah seburuk-buruk corak penghambaan diri.

Saat itu ia juga berkata, "Barangsiapa yang tidak pernah merasa puas terhadap dunia, maka tak ada dunia baginya."

Bagi Abu Darda', harta hanyalah alat bagi kehidupan yang bersahaja dan sederhana, tidak lebih. Berpijak dari sini, maka manusia hendaknya mengusahakannya dengan cara yang halal, dan mendapatkannya secara sopan dan sederhana, bukan dengan kerakusan dan mati-matian. "Jangan kau makan, kecuali yang baik. Jangan kau usahakan kecuali yang baik. Dan jangan kau masukkan ke rumahmu, kecuali yang baik!" ujarnya.

Menurut keyakinannya, dunia dan seluruh isinya hanya semata-mata pinjaman dan menjadi jembatan untuk menyeberang menuju kehidupan yang abadi.

Pada suatu hari, para sahabat menjenguknya ketika ia sakit. Mereka mendapatinya terbaring di atas hamparan dari kulit. Mereka menawarkan kepadanya agar kulit itu diganti dengan kasur yang lebih baik dan empuk.

Tawaran ini dijawabnya sambil memberi isyarat dengan telunjuknya, sedangkan kedua bola matanya menatap jauh ke depan. "Kampung kita nun jauh di sana, untuknya kita mengumpulkan bekal. Dan ke sana kita akan kembali. Kita akan berangkat kepadanya dan beramal untuk bekal di sana."

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More